Diskusi tentang keselamatan dan keadilan di olahraga perempuan kembali memanas di Olimpiade terbaru setelah petinju Imane Khelif dan Lin Yu Ting meraih medali emas. Sebelumnya, keduanya sempat didiskualifikasi oleh International Boxing Association (IBA) atas dugaan ketidaksesuaian gender, meski IBA tak memberikan bukti yang jelas, memicu perdebatan luas.
Setelah pengakuan IBA dicabut oleh Komite Olimpiade Internasional (IOC) karena masalah tata kelola, IOC mengambil alih pengaturan dan kriteria masuk cabang tinju di Paris. Di tengah situasi ini, jurnal Scandinavian Journal of Medicine and Science in Sports (SJMSS) mengusulkan tes kromosom seks wajib bagi atlet perempuan, terutama yang memiliki XY DSD (differences in sexual development).
Namun, Profesor Alun Williams dari Manchester Metropolitan University menolak gagasan ini. Dalam editorialnya, ia mempertanyakan dasar etika dan kepraktisan tes tersebut. Williams menyatakan bahwa belum ada bukti langsung yang menunjukkan keunggulan performa atlet XY DSD, terutama di level sub-elit. Ia juga mengkhawatirkan dampak psikologis dan potensi paksaan terhadap atlet muda.
Di sisi lain, ilmuwan olahraga Ross Tucker dan rekan-rekannya membela usulan tersebut dengan menyebut adanya bukti ilmiah yang mendukung keunggulan performa pada atlet dengan XY DSD tertentu. Mereka menyarankan skrining dilakukan di awal karier atlet untuk menjaga privasi dan martabat tanpa menyasar atlet muda.
Debat panas ini mencerminkan tantangan dalam menjaga keadilan di olahraga perempuan sambil tetap melindungi hak dan martabat atlet. Sementara Khelif mengajukan tuntutan hukum di Prancis terkait pelecehan di Olimpiade, seruan untuk diskusi lebih luas tentang regulasi di dunia olahraga semakin mendesak.